Rabu, 19 November 2014

CINTA SEPETAK



Alam semesta memang luas, tapi duniamu tidak, begitupun denganku. Banyak orang di luar sana, tapi kenyataannya kau hanya sering bertemu dengan mereka yang itu-itu saja. Kehidupan dibatasi rutinitas, meski kadang jengah tapi mungkin disitulah ekosistem terbaik tempat kita menjalani hidup. Alam selalu tau yang paling baik, jadi menurut saja.

Aku di sini mencoba mengerti teori itu, tentang dunia yang sempit dan tentang cinta yang seharusnya mudah ditemukan dalam duniaku yang terbatas. Namun, meski aku bisa jatuh cinta pada siapa saja, jodoh yang sebenar-benarnya tetap akan dipilihkan Tuhan. Jadi buat apa aku bersusah payah dan menerka-nerka? Demi perlindungan tingkat tinggi pada hati yang mudah rapuh, aku memilih menunggu saja. Iya, diam dan menunggu pun adalah sebuah sikap. Sikap menanti sementara logika belajar sabar, dan hati berdoa.

Lalu seketika munculah dia. Dia yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Dia yang (ternyata) selama ini ada dalam keseharianku. Dia yang (akhirnya) terlihat menawan dan sangat istimewa. Diakah orangnya, Tuhan?

Enggan aku menunjukkan perasaan, tapi aku takut rentan waktu yang diberikan Tuhan untukku merasakan cinta terbuang sia-sia. Mungkin diantara banyak orang yang mengantri jodoh, kini giliranku mendapatkannya. Kesempatan untuk akhirnya jatuh cinta tidak boleh terlewatkan begitu saja. Aku belajar mengolah rasa, menyingkirkan gengsi dan membuang canggung. Cinta ini harus sampai ke hatinya dengan selamat. Dengan keterbatasannku sebagai seorang wanita, aku mencoba mengibarkan bendera tanda; tanda cinta.

Percakapan pertama terjadi dalam sebuah jaringan telepon kabel kala senja beranjak pulang :
“aku                       : koq ketawa?”
“dia                        : emang ngga boleh?”
“aku                       : ya engga juga sih, cuma sayang aja, aku ngga bisa ngeliat ketawanya...”

Lalu di lain waktu, semesta mengijinkan aku dan dia melakukan percakapan langsung yang lucu :
“dia                        : siang...”
“aku                       : koq “siang” aja?”
“dia                        : harusnya gimana?”
“aku                       : pake baby dong.”

Ada rasa geli yang menggelitik saat aku mencoba menunjukan rasa sayang ini. Namun, biarlah semuanya berjalan dengan perlahan. Bukankah cinta yang tumbuh pelan-pelan akan jauh lebih mengakar? Lagi pula, duniaku sempit, cintaku ada dalam lingkup yang sepetak saja, dan aku pun akan selalu ada dalam dunianya yang (juga) sempit.

Dia akan selalu bertemu aku, senyumku yang tak biasa, dan tatapan mataku yang malu-malu pasti akan jadi pemandangan sehari-hari dalam dunianya. Maka tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang cinta ini. Meski tentang apa yang dia rasa masih menjadi sebuah rahasia, aku tetap punya doa.

Aku percaya. Tuhan mendengar.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda