CINTA SEPETAK
Alam semesta memang luas, tapi duniamu tidak,
begitupun denganku. Banyak orang di luar sana, tapi kenyataannya kau hanya
sering bertemu dengan mereka yang itu-itu saja. Kehidupan dibatasi rutinitas,
meski kadang jengah tapi mungkin disitulah ekosistem terbaik tempat kita
menjalani hidup. Alam selalu tau yang paling baik, jadi menurut
saja.
Aku di sini mencoba mengerti teori itu, tentang
dunia yang sempit dan tentang cinta yang seharusnya mudah ditemukan dalam duniaku
yang terbatas. Namun, meski aku bisa jatuh cinta pada siapa saja, jodoh yang
sebenar-benarnya tetap akan dipilihkan Tuhan. Jadi buat apa aku bersusah payah
dan menerka-nerka? Demi perlindungan tingkat tinggi pada hati yang mudah rapuh,
aku memilih menunggu saja. Iya, diam dan menunggu pun adalah sebuah sikap. Sikap
menanti sementara logika belajar sabar, dan hati berdoa.
Lalu seketika munculah dia. Dia yang sebelumnya
tidak pernah terpikirkan. Dia yang (ternyata) selama ini ada dalam
keseharianku. Dia yang (akhirnya) terlihat menawan dan sangat istimewa. Diakah
orangnya, Tuhan?
Enggan aku menunjukkan perasaan, tapi aku takut
rentan waktu yang diberikan Tuhan untukku merasakan cinta terbuang sia-sia.
Mungkin diantara banyak orang yang mengantri jodoh, kini giliranku mendapatkannya.
Kesempatan untuk akhirnya jatuh cinta
tidak boleh terlewatkan begitu saja. Aku belajar mengolah rasa, menyingkirkan
gengsi dan membuang canggung. Cinta ini harus sampai ke hatinya dengan
selamat. Dengan keterbatasannku sebagai seorang wanita, aku mencoba mengibarkan
bendera tanda; tanda cinta.
Percakapan pertama terjadi dalam sebuah jaringan
telepon kabel kala senja beranjak pulang :
“aku :
koq ketawa?”
“dia :
emang ngga boleh?”
“aku :
ya engga juga sih, cuma sayang aja, aku ngga bisa ngeliat ketawanya...”
Lalu di lain waktu, semesta mengijinkan aku dan dia
melakukan percakapan langsung yang lucu :
“dia :
siang...”
“aku :
koq “siang” aja?”
“dia :
harusnya gimana?”
“aku :
pake baby dong.”
Ada rasa geli yang menggelitik saat aku mencoba
menunjukan rasa sayang ini. Namun, biarlah semuanya berjalan dengan perlahan.
Bukankah cinta yang tumbuh pelan-pelan akan jauh lebih mengakar? Lagi pula, duniaku sempit, cintaku ada
dalam lingkup yang sepetak saja, dan aku pun akan selalu ada dalam dunianya
yang (juga) sempit.
Dia akan selalu bertemu aku, senyumku yang tak
biasa, dan tatapan mataku yang malu-malu pasti akan jadi pemandangan
sehari-hari dalam dunianya. Maka tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang
cinta ini. Meski tentang apa yang dia rasa masih menjadi sebuah rahasia, aku tetap
punya doa.
Aku percaya. Tuhan mendengar.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda